Sabtu, 21 November 2009

MESTAKUNG

Mestakung Dalam Memotivasi Anak






Bagaimana sih mendidik anak yang baik? Anak saya sangat nakal, tidak mau belajar, bagaimana caranya agar ia mau belajar? Anak saya sebenarnya pintar tapi malasnya minta ampun, sehingga nilainya jelek, bagaimana membuat ia suka belajar? Bagaimana agar anak suka matematika? Anak saya paling benci fisika, gimana caranya agar ia suka fisika? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan sejenis diajukan ketika saya memberikan seminar-seminar di berbagai tempat di Indonesia.

Mari kita belajar dari fisika,

Apa yang terjadi ketika kita menuangkan pasir sedikit demi sedikit ke atas lantai? Ya betul, pasir akan membentuk suatu bukit pasir kecil. Jika kita terus menuangkan pasir, bukit pasir ini makin lama makin besar dan makin tinggi. Ketika bukit pasir mencapai suatu ketinggian tertentu yang kita sebut ketinggian kritis terjadilah suatu keanehan. Pada ketinggian kritis ketika kita menjatuhkan beberapa butir pasir, terlihat butir-butir pasir ini mengatur dirinya. Ada yang jatuh mengenai bukit pasir lalu bergulir terus dan berhenti di suatu tempat. Ada yang jatuh lalu mendorong butir-butir pasir lain untuk bergulir, butir-butir yang bergulir ini dapat mendorong butir-butir lain untuk bergulir juga sebelum berhenti pada suatu tempat. Ada pula yang hanya bergulir sedikit atau tidak bergulir sama sekali. Tiap butir pasir seolah-olah punya peran masing-masing. Mereka semua bekerja bersama-sama mempertahankan agar kemiringan bukit pasir tidak berubah. Aneh bukan? Sepertinya pasir-pasir ini punya otak untuk menghitung sehingga kemiringan bukit pasir tidak berubah.


Peristiwa pengaturan diri seperti yang terjadi pada pembentukan bukit pasir ini merupakan satu diantara ribuan bahkan jutaan peristiwa yang terjadi di alam ini. Peristiwa-peristiwa ini terjadi ketika suatu sistem berada pada kondisi kritis. Pada kondisi kritis, tiap individu berinteraksi dengan individu-individu lain. Kemudian individu-individu ini secara bersama-sama mengatur dirinya sehingga mem-brojol-lah (emerge) sesuatu keadaan yang baru, yang berbeda dari biasanya. Dalam fisika, proses pengaturan diri pada kondisi kritis dikenal sebagai fenomena kritis (critical phenomena).

Apa yang terjadi ketika air dipanaskan pada tekanan sekitar 218 kali tekanan udara normal ? Pada kondisi ini ketika suhu air mencapai 374°C, terjadi keanehan. Air berada pada kondisi kritis, yaitu air berada dalam dua wujud cair dan gas secara bersamaan. Pada kondisi kritis ini ketika suhu air dinaikan sedikit saja, terjadilah pengaturan diri dalam molekul air. Seluruh molekul air (tidak hanya satu, tetapi semua molekul) mengatur dirinya secara serentak mengubah wujud air menjadi uap air.

Di sini kita lihat molekul-molekul air bekerja bersama-sama mengubah air dari wujud cair menjadi wujud gas. Jika hanya satu molekul saja yang bekerja, peristiwa perubahan wujud ini tidak akan terjadi. Kondisi kritis telah mendorong semua molekul untuk mengatur dirinya lalu mengubah air menjadi uap air. Saya namakan proses pengaturan diri secara bersama-sama ini dengan istilah MESTAKUNG, yang merupakan singkatan dari seMESTA menduKUNG. Disini kita bayangkan semesta (dalam hal ini seluruh molekul air dan lingkungannya) bekerja bersama-sama pada kondisi kritis menghasilkan suatu perubahan yang tidak terduga.

Mestakung terjadi dimana-mana tidak hanya dalam fisika. Seorang yang dikejar anjing galak, berada pada kondisi kritis. Pada saat itu seluruh sel-sel tubuhnya mengatur dirinya (melakukan mestakung) memberikan ekstra energi sehingga ia bisa melompat 2 meter padahal dalam keadaan biasa mungkin ia maksimum melompat 1 meter.

Konsep mestakung dapat kita pakai untuk memotivasi anak. Caranya adalah dengan menempatkan anak pada kondisi kritis. Ketika anak berada pada kondisi kritis maka akan terjadi mestakung, dimana seluruh sel-sel tubuh akan bekerja bersama-sama menghasilkan suatu motivasi dari dalam. Bukan itu saja, nanti secara ajaib semesta (lingkungan sekitar) akan membantu/mendukung – Mestakung!

Kondisi kritis dapat diciptakan dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi anak untuk untuk mengerjakan sesuatu yang positif tanpa paksaan. Seorang Ibu senang membaca. Di rumahnya banyak sekali buku. Ia tidak pernah memaksa anaknya membaca buku-buku dia. Tapi buku-bukunya mudah dijangkau anak-anaknya. Suatu hari anaknya yang berumur 9 tahun secara diam-diam membaca buku kisah hidup Napoleon Bonarparte. Anak itu terobsesi untuk menjadi jenderal seperti Napoleon – Anak ini kita katakan berada pada kondisi kritis. Mestakung terjadi, anak ini melahap banyak sekali buku pelajaran. Walau masih umur 9-10 tahun tapi sudah belajar matematika tingkat perguruan tinggi. Luar biasa kalau mestakung bekerja.

Seorang Ibu lain sering menyetel televisi untuk acara-acara sains. Anaknya yang berusia 10 tahun yang tadinya acuh tak acuh, suatu saat ikut menonton acara pelajaran kimia yang disajikan secara menarik. Selesai acara anak itu ingin menjadi ilmuwan yang hebat.- ia berada pada kondisi kritis. Motivasinya begitu kuat. Buku pelajaran kimia kelas 1-3 SMA dilalapnya hanya dalam waktu kurang dari setahun. Dan ia menjadi anak yang pintar bukan hanya kimia tetapi juga matematika.

Seorang ayah banyak mengoleksi buku-buku tentang Einstein. Anaknya penasaran dengan koleksi ini, diam-diam dia membaca dan membaca. Ia juga belajar sendiri fisika SMA terutama tentang teori gravitasi. Tidak puas dengan pelajaran SMA ia belajar pelajaran universitas tentang teori gravitasi Einstein. Akhirnya di usia 12 tahun ia berhasil menulis beberapa paper tentang teori gravitasi Einstein. Kini ia sedang kuliah dan membuat thesis di Swedia dengan beasiswa.

Cara lain untuk menempatkan anak pada kondisi kritis adalah dengan mempertemukan anak dengan ilmuwan hebat atau peraih Nobel, membawa anak ke acara-acara science fair, mempertemukan anak-anak dengan para juara lomba internasional, mengajak ke museum sains, mengajak bermain dengan matematika, atau membawa ia ke konser musik.

Ketika anak itu sudah pada kondisi kritis dan termotivasi, langkah berikutnya adalah menyediakan fasilitas bagi anak itu untuk mencapai ambisinya itu. Disini kita hanya boleh menyediakan fasilitas pendukung, tidak boleh memaksa anak. Paksaan tidak akan menimbulkan mestakung dalam diri anak. Sebaliknya akan membuat anak akan melakukan hal sebaliknya.

Selanjutnya adalah terus mendampingi anak, memenuhi segala kebutuhannya agar apa yang diimpi-impikan itu bisa tercapai. Disini pengorbanan orang tua sangat besar. Ibu Tuti bercerita bahwa ketika anaknya berusia 2,5 tahun, keingintahuan anak ini sangat besar, ia ingin belajar membaca dan ingin dibacakan buku. Ibu Tuti dengan sabar membacakan berbagai buku dan ensiklopedi anak-anak 3 kali sehari, ini berlangsung terus hingga 1 tahun. Ibu Tuti pernah mengalami jenuh, kesal dan bosan membacakan buku-buku itu. Tapi ia terus sabar. Tahu apa yang terjadi setelah anak itu berusia 4 tahun? Anak itu menjadi sangat cinta baca dan tumbuh jadi anak yang pintar. Usia 9 tahun pengetahuan anak itu sangat luas dan ia bisa membuat cerita dan komik yang menarik. Sang Ibu menuai apa yang sudah ditabur dengan susah payah. (Prof. Yohanes Surya Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia).

Tidak ada komentar: